Selamat hari Kartini buat seluruh perempuan Indonesia! Semoga kaum perempuan tidak pernah lelah memperjuangkan hak-haknya dan menjadi sumber inspirasi bagi sesamanya. Ibu Kartini sudah memulai perjuangannya sejak hampir 150 tahun yang lalu dan sampai hari ini perempuan masih mengalami berbagai bentuk ketidaksetaraan dan ketidakadilan termasuk di negara-negara maju. Contohnya gaji, sampai saat ini perempuan di negara-negara Uni Eropa (EU) masih menerima 16 persen upah lebih rendah dari laki-laki per jam. Alasan-alasan kesenjangan upah berbasis gender ini tidak hanya masalah diskriminasi tapi konsekuensi berbagai ketidaksetaraan yang dihadapi perempuan dalam mengakses pekerjaan, perkembangan (karir) dan penghargaan. Ketidaksetaraan tersebut disebabkan antara lain:
- Segregasi sektoral. Sekitar 30 persen dari total ketidaksetaraan upah berbasis gender akibat representasi perempuan yang relatif lebih banyak pada sektor-sektor yang berenumerasi rendah seperti kesehatan dan pendidikan. Sebaliknya, proporsi pekerja laki-laki sangat tinggi (>80 persen) untuk sektor-sektor dengan bayaran lebih tinggi seperti sains, teknologi, engineering dan matematik.
- Keseimbangan antara Pekerjaan dan Kehidupan (pribadi). Rata-rata perempuan menghabiskan lebih sedikit waktu untuk pekerjaan berbayar dibanding laki-laki dan perempuan meluangkan lebih banyak waktu untuk pekerjaan tanpa upah. Secara total, perempuan bekerja lebih lama dari laki-laki per minggunya yang mungkin mempengaruhi pilihan karirnya. Inilah alasan mengapa EU mempromosikan berbagi paternal leave yang lebih setara, penyediaan layanan publik yang memadai untuk perawatan anak-anak dan kebijakan perusahaan yang mendukung jam kerja yang luwes.
- Penghalang karir. Posisi dalam hirarki mempengaruhi derajat gaji, kurang dari 10 persen pejabat tinggi perusahaan-perusahaan adalah perempuan. Profesi dengan perbedaan upah /jam paling besar di EU adalah manager: gaji manager perempuan lebih rendah 23 persen dari manager laki-laki.
Di kawasan EU sendiri, kesenjangan upah berbasis gender bervariasi dimana negara dengan kesenjangan upah paling tinggi adalah Estonia, Jerman, Ceko, Inggris dan Austria (antara 22.7-19.6 persen). Sedangkan negara dengan kesenjangan upah terendah di EU adalah Romania, Luxemburg, Italia, Belgium dan Slovenia (antara 8.7-3 persen). Swiss memiliki kesenjangan gaji berbasis gender (17 persen), lebih tinggi dari kebanyakan negara-negara EU. (https://ec.europa.eu/info/policies/justice-and-fundamental-rights/gender-equality/equal-pay/gender-pay-gap-situation-eu_en#differences-between-the-eu-countries). Perempuan Eropa masih terus memperjuangkan kesetaraan gaji sampai hari ini. Di Prancis sejak 5 tahun belakangan ini ada gerakan yang dinamakan #5novembre16h47 yang berjuang melawan kesenjangan upah berbasis gender. Gerakan ini dimulai oleh seorang ekonom millenial Prancis Rebecca Amsellem. Mengapa gerakannya dinamakan seperti itu? karena di Prancis kesenjangan gaji antara perempuan dan laki-laki adalah 15.4 persen, artinya perempuan Prancis bekerja tanpa upah sejak 5 November pukul 16.47 sore sampai 31 Desember setiap tahunnya (https://www.rtl.fr/girls/societe/5nov16h47-pourquoi-les-francaises-travailleront-elles-gratuitement-a-partir-du-5-novembre-7799364357).
Bagaimana dengan Indonesia? Menurut Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemenpppa) kesenjangan upah berbasis gender di Indonesia cenderung bahkan menurun tajam dari 20,23 persen (2014) menjadi menjadi 13.83 persen (2015). Pendidikan perempuan merupakan indikator yang dapat menurunkan kesenjangan upah. Selain itu, pengalaman masa kerja juga penentu penting dalam pemberian upah. Penurunan kesenjangan upah ini juga merupakan salah satu keuntungan yang diperoleh dari pengalaman kerja perempuan. (https://www.kemenpppa.go.id/lib/uploads/list/53185-statistik-gender-tematik-2016-ketimpangan-ekonomi.pdf). Isu-isu utama terkait kesenjangan berbasis gender di Indonesia antara lain partisipasi dan representasi perempuan dalam pengambilan keputusan, tingginya angka kematian ibu melahirkan dan kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak perempuan (https://www.unwomen.org/en/get-involved/step-it-up/commitments/indonesia).
Sebagai sesama perempuan (Indonesia) kita perlu saling mendukung, paling tidak mengurangi kenyinyiran terhadap orang-orang dekat kita apalagi yang tidak dekat sama sekali. Dengan semangat Ibu Kartini mungkin kita bisa memperkuat empati dan mengurangi pertanyaan atau komentar nyinyir kepada sesama perempuan misalnya: Kapan menikah? Kapan punya anak? Kamu gemukan/kurusan sekarang ya? Kenapa anakmu usia segitu belum bisa bicara? Bisa jadi orang yang ditanyai sudah berusaha mencari jodohnya tapi belum bertemu juga bahkan sedang patah hati. Teman yang kita nyinyirin sedang berjuang mengobati infertility yang dideritanya atau sudah keguguran berkali-kali atau malah tidak mau punya anak. Memutuskan punya anak atau tidak, itu hak (reproduksi) perempuan juga. Perempuan yang kita komentari berat badannya mungkin sedang punya masalah kesehatan yang tidak ingin dia ceritakan kepada siapapun. Anak teman kita mengalami keterlambatan berbicara akibat penyakit tertentu dan sang teman sudah menghabiskan banyak uang untuk mengobatinya. Menurut pendapat saya pribadi, kenyinyiran dengan pertanyaan atau komentar yang tidak sensitif adalah salah satu bentuk antipati terhadap sesama perempuan. Daripada membudayakan kenyinyiran yang tidak berfaedah mungkin lebih baik kita bertanya hal-hal ringan dan netral saja. Misalnya apa kegiatan yang kamu suka dan sering lakukan belakangan ini? apakah kamu menikmati pekerjaanmu yang baru? Apakah anak dan suamimu sehat-sehat? Kalau kita menuntut agar kekerasan terhadap perempuan dihapuskan, kita harus mulai memperlakukan sesama kaum perempuan dengan kepekaan dan kesantunan dulu, ya gak sih?