Tim bubur ayam tidak diaduk

Bubur ayam dan bubur udang itu comfort food kami terutama saat musim salju dan gugur. Kami berdua termasuk tim bubur ayam tidak diaduk hahaha. Dulu waktu saya masih tinggal di Jakarta dan bekerja di kawasan Jl. Thamrin, hampir tiap pagi beli bubur ayam di kantin belakang kantor buat sarapan. Saya selalu pesan tanpa cakwe (karena gak suka) dengan topping ayam dan bawang goreng yang berlimpah dan sambel rawit. Kalau udah sarapan bubur ayam kerja jadi semangat karena punya energi yang cukup sampai makan siang. Porsi sarapan saya rada kayak kuli dan merupakan waktu makan paling penting. Tanpa sarapan dengan porsi yang cukup saya tidak bisa berfungsi dengan baik. Biasanya saya merasa lapar terus sampai besok paginya atau malah sakit (maag). Karena kangen sekali dan tidak ada yang jual bubur ayam disini akhirnya saya coba masak sendiri. Bermodalkan googling sana sini dan juga cari-cari resep di aplikasi andalan: cookpad. Inspirasi resep bubur ayam saya dapat dari soto ayam dan ternyata gak susah masaknya.

Kadang-kadang kalau bosan dengan ayam saya ganti udang dengan resep yang sama. Aroma dan rasa kaldu udang yang khas menciptakan varian rasa bubur yang berbeda. Untuk mendapatkan kaldu udang yang pas, pakai udang ukuran besar (tiger prawn), mentah, utuh dengan kulit dan kepalanya. Karena sumber rasa gurih dan manis berasal dari kulit udang. Disini susah nyari seafood segar dan harganya pun mahal banget karena Swiss landlock country gak punya laut, hanya sungai dan danau. Seafood biasanya dijual dalam keadaan beku, sudah dibersihkan (tanpa kulit dan kepala) dan direbus. Biasanya kalo masak bubur udang saya tambahkan kerupuk melinjo dan bubur ayam pakai kerupuk udang. Condiment wajibnya bawang goreng, kalau lagi rajin bela-belain masak sendiri bawang gorengnya karena rasanya lebih gurih. Kalo lagi males pakai yang sudah jadi dari supermarket walaupun itu bawang bombay goreng (fried union) bukan bawang merah goreng (fried shallot). Di rumah kami bubur ayam ini jadi hidangan makan siang bukan untuk sarapan. Paling tidak untuk suami saya yang lebih suka makan yang manis-manis waktu sarapan. Menurutnya bubur ayam terlalu berat untuk sarapan hahaha. 

Resep bubur ayam/udang saya mirip bubur ayam abang-abang daripada bubur ayam restoran kayak Ta Wan. Menurut saya makanan street food itu lebih enak dan medok rasanya. Suami saya pernah makan di Ta Wan dan bilang bubur ayamnya gak enak hahaha. Mungkin karena terbiasa dengan masakan saya yang alirannya street food bukannya grande cuisine. Kalo lagi di Jakarta kami suka makan di Sate Khas Senayan karena rasanya lebih dekat ke rasa aslinya. Menu favorit ya berbagai jenis nasi kayak nasi liwet, nasi uduk, nasi bali dan yang paling enak lontong cap go meh. Kalau makan di restoran Indonesian fine dining kayak Bunga RampaiSeribu Rasa atau Tesate itu suasananya enak tapi rasanya kok kurang nendang ya mahal pula hahaha, menurut kalian bagaimana? 

2 Comments

  1. Aku juga tim bubur ayam tak diaduk. Masak bubur ayam lengkap itu penuh effort, tapi menyenangkan. Aku biasanya pakai bumbu soto juga. Terus ayamnya digoreng sedikit sebelum disuwir-suwir. Aduh jadi pengen, kayaknya nanti malam dinner ini deh.

    1. Satu tim dong kita ya, high five! Iya, enak ayamnya digoreng sebentar baru disuwir, kalo cuma direbus sama bumbu gak digoreng kurang nendang ya. Hihi, jadi pengen kalo ngomongin bubur ayam tuh emang.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *