Sudah hampir enam bulan berlalu sejak krisis kesehatan global terjadi akibat virus COVID-19. Milyaran orang di dunia dibatasi pergerakannya (lockdown). Di Cina hampir setengah milyar orang harus tetap di rumah setara dengan 7 persen populasi penduduk dunia. Banyak negara memberlakukan lockdown mulai dari Italy, Spanyol dan belakangan Amerika dan India. Pembatasan pergerakan manusia berskala besar mengakibatkan jatuhnya ekonomi dunia. Namun penduduk di kota-kota dengan polusi udara terburuk mendapatkan apa yang tidak pernah mereka miliki: udara yang bersih. Di Wuhan, tempat asal pandemi, bahan pencemar (pollutant) tertentu termasuk Nitrogen Dioksida (NO2) yang biasanya berasal dari kendaraan bermotor memiliki catatan terendah pada bulan-bulan awal tahun ini (https://www.weforum.org/agenda/2020/04/coronavirus-covid19-air-pollution-enviroment-nature-lockdown). Orang-orang yang tinggal di kota besar seperti Jakarta bisa merasakan dampak berkurangnya polusi udara. Udara lebih segar dan langit Jakarta terlihat lebih jelas dan bersih.
Pandemi Influenza terjadi ketika suatu virus jenis baru muncul dan tersebar di seluruh dunia dan semua orang belum memiliki kekebalan tubuh. Virus-virus yang menyebabkan penyakit ini di masa lalu biasanya berasal dari virus flu hewan (https://www.who.int/csr/disease/swineflu/frequently_asked_questions/pandemic/en/). COVID-19 diduga (belum ada konfirmasi resmi dari WHO) berasal dari kelelawar dengan perantara trenggiling (pangolin) di pasar basah Wuhan. Penduduk yang padat, sanitasi pasar yang kurang baik dengan hewan liar yang kebanyakan illegal bercampur dan berdesak-desakan di kandang sempit dengan binatang domestik yang biasa dikonsumsi manusia. Tempat yang sempurna untuk munculnya virus influenza baru! Virus SARS yang muncul tahun hampir dua dekade lalu (2002) di Guangdong – Tiongkok juga berasal dari kelelawar dengan perantara musang (Civet Cat). Seperti virus flu lainnya yang disebabkan oleh binatang seperti flu burung (Avian Influenza) dan flu babi (Swine Flu) biasanya muncul akibat penanganan dan pemeliharaan yang tidak tepat dan etis. Misalnya populasi hewan yang terlalu padat dan kebersihan kandang yang buruk.
Menurut pendapat saya semua ini akibat keserakahan manusia. Permintaan dan konsumsi daging hewan ternak yang sangat tinggi dengan meningkatnya kesejahteraan dan munculnya globalisasi makanan cepat saji mendorong industrialisasi besar-besaran sektor peternakan hewan. Manusia menjadi serakah ingin mendapatkan untung besar mengabaikan etika terhadap lingkungan dan binatang. Bagaimana bumi secara berkelanjutan mampu memberi makan hampir 10 miliar populasi manusia 30 tahun mendatang (2050)? Salah satu cara dengan merubah pola diet menjadi lebih sehat dan berkelanjutan. Makanan bersumber dari hewan membutuhkan sumberdaya yang lebih intensif dalam proses produksinya dibandingkan dengan makanan bersumber dari tumbuhan. Sapi, daging yang paling banyak dikonsumsi, memerlukan 20 kali lipat lahan dan mengeluaran 20 kali lipat gas rumah kaca (yang mengakibatkan pemanasan bumi dan perubahan iklim) per gram protein dibanding protein yang bersumber dari kacang, legum dan lentil (https://www.wri.org/blog/2018/12/how-sustainably-feed-10-billion-people-2050-21-charts). Selain itu konsumsi atau koleksi bagian tubuh hewan liar atau yang hampir punah menjadi bagian dari budaya suatu suku/bangsa. Menurut survey WWF terhadap perdagangan hewan liar di Asia (Hong Kong SAR, Japan, Myanmar, Thailand dan Vietnam), jenis hewan liar yang paling banyak dibeli di pasar basah adalah burung, ular, kelelawar, musang, trenggiling dan kura-kura. Perdagangan hewan liar yang tidak berkelanjutan merupakan ancaman langsung kedua terbesar untuk keanekaragaman hayati global setelah perusakan habitat. Mengambil tindakan yang tegas terhadap perdagangan hewan liar penting untuk mencegah risiko epidemi bersumber binatang (zoonotic) di masa mendatang dan menjaga kesehatan dan kehidupan manusia. Dengan penutupan pasar ilegal dan tanpa regulasi tersebut diharapkan dapat mengurangi pembelian produk yang berasal dari hewan liar yang mempengaruhi arus perdagangan hewan liar illegal dan tidak berkelanjutan (https://www.worldwildlife.org/publications/opinion-survey-on-covid-19-and-wildlife-trade-in-five-asian-markets).
Manusia saat ini hidup melampaui kemampuan planet bumi, mengkonsumsi sumber daya alam yang dapat diperbaharui seolah-olah kita memiliki 1,5 planet untuk digunakan. Pada saat yang sama, berjuta-juta orang hidup dalam ketiadaan/kemiskinan yang mengerikan. Sementara itu pembangunan berkelanjutan mensyaratkan manusia untuk menggunakan sumberdaya alam sesuai batasan lingkungan. Planet bumi memiliki keterbatasan, saat ini tiga dari dari sembilan batas planet sudah kita lampaui yaitu : terjadinya perubahan iklim, kehilangan keanekaragaman hayati dan penggunaan Nitrogen. Apakah pengentasan kemiskinan akan menekan planet ini? Tidak. Data yang ada mengimplikasikan bahwa fondasi sosial dapat dicapai untuk setiap orang yang hidup hari ini dengan sangat sedikit tambahan sumber daya:
Pangan: Menyediakan tambahan kalori yang dibutuhkan 13 persen populasi penduduk dunia yang kelaparan hanya membutuhkan 1 persen persediaan pangan global saat ini
Energi: Mendatangkan listrik untuk 19 persen penduduk dunia yang saat ini tidak memilikinya dapat dilakukan dengan peningkatan emisi karbon dioksida (CO2) global 1 persen saja
Pendapatan: Mengakhiri kemiskinan untuk 21 persen penduduk dunia yang hidup dengan pendapatan 1,25 (US) dollar sehari hanya membutuhkan 0,2 persen pendapatan global.
Faktanya, sumber tekanan terbesar terhadap planet bumi adalah penggunaan sumberdaya yang berlebihan oleh sekitar 10 persen (orang terkaya) dari penduduk dunia dan pola produksi perusahaan yang menghasilkan barang dan jasa yang mereka beli :
Karbon: Sekitar 50 persen emisi karbon global dihasilkan oleh 11 persen penduduk dunia
Pendapatan: 57 persen pendapatan global ada di tangan 10 persen penduduk dunia
Nitrogen: 33 persen dari anggaran Nitrogen berkelanjutan digunakan untuk menghasilkan daging untuk penduduk Uni Eropa – 7 persen penduduk dunia (A safe and just space for humanity, can we live within the doughnut? Kate Raworth, Oxfam discussion paper, 2012).
Aku masih banyak dosa, apalagi pemakaian plastik. Tapi pelan-pelan lagi ngumpulin wadah kaca untuk nyimpan makanan di kulkas. Panci pun tak ganti yg lebih bisa nyimpen energi.
Kalau daging merah, sudah 20 tahuan aku gak makan, ini preferensi pribadi sih bukan untuk lingkungan.
Masih banyak PRnya.
Duh bener deh, aku tuh kalo kosmetik masih banyak dosa makanya ngurangi dikit-dikit dari sabun, sampo atau lotion yang habis tiap bulan. Wah udah lama banget gak makan daging merah, udah lupa mungkin rasanya ya? Betul, masih banyak PR kita untuk mengurangi sampah dan beban pada bumi. Salam hijau Ailtje, hehehe.