Sesuai judulnya, tahun lalu merupakan tahun yang sulit tapi menarik buat dijalani. Di mulai dengan perjalanan bisnis (mission istilah kantor saya di Jenewa) ke 4 negara yang terletak di benua yang berbeda plus mudik ke Indonesia 2x. Saya hitung sekitar 35 kali berganti pesawat (international dan domestik). Rasanya capek banget bolak-balik melewati security dan boarding gate di bandara dan test covid (sekitar 8 kali) karena saat itu masih menjadi syarat perjalanan antar negara. Sebelum berangkat mission, saya harus melakukan berbagai jenis vaksin antara lain : covid-19, yellow fever (wajib untuk masuk ke beberapa negara di Afrika), typhoid, hepatitis A dan B, rabies dan MMR. Rumah di sebuah desa di pelosok Uganda Perjalanan bisnis di mulai dengan Uganda. Ini perjalanan pertama saya ke Afrika Timur dan cukup membuat nervous mengingat situasi pandemi plus standar keamanan dan keselamatan yang rendah disana. Kami terbang lewat rute Jenewa-Kairo dan Kairo-Entebbe, transit sebentar tanpa berganti pesawat di Kigali (Rwanda). Perjalanan dari Jenewa-Entebbe sekitar 11 jam lebih dengan Egypt Air. Butuh 1-1.5 jam jalur darat dari Entebbe (Bandara) ke ibukota Uganda: Kampala. Perjalanan ini melewati Danau Viktoria yang merupakan danau terbesar di Afrika, sayangnya kami tidak bisa mampir karena jadwal mission yang padat. Kami menginap di Kampala 1 malam. Dari sana harus naik mobil sekitar 8 jam menuju Uganda Utara dengan mobil 4WD atau 4×4 karena medan perjalanan yang sulit, setengah perjalanan di lalui di jalanan tanpa aspal. Di ruas jalan beraspal saya lihat pembangunannya dikerjakan oleh kontraktor Cina, kemungkinan melalui pinjaman/hutang. Kami menginap 3 malam di Lira – Uganda Utara. Butuh waktu 2 jam perjalanan dengan mobil menuju lokasi proyek melalu jalanan tanpa aspal. Kami melewati desa-desa tertinggal dan miskin, orang-orang berjalan tanpa alas kaki di siang yang terik di jalanan yang penuh debu dan gelap gulita pada malam hari. Rumah-rumah di pelosok Uganda tidak memiliki listrik dan air bersih. Saya berkali-kali menahan airmata selama kunjungan lapangan menyaksikan kemiskinan yang melilit mereka. Poverty in rural Africa is heart-wrenching and being woman there is onerous! Perempuan-perempuan disana harus berjalan berjam-jam untuk mendapatkan air bersih dan seringkali membahayakan keselamatan dan kehormatan mereka. Perjalanan ini mengingatkan tentang berapa nyamannya hidup saya. Listrik tersedia tanpa batas, air bersih mengalir kapan saja. Mau minum tinggal jalan ke kitchen sink atau kalo di Jakarta ke galon air mineral, in 5 seconds I have my drinking water ready while rural African women should walk 3-6 hours to fetch their clean water. I keep reminding myself to count my blessings more often!Makanan pokok, matoke (yang kuning) dan ubi-ubian 2 hal yang mengkhawatirkan selama disana yaitu air minum dan nyamuk. Harus hati-hati karena air mineral kemasan belum tentu terjamin kebersihannya. Selama disana hanya berani minum air mineral yang direbus dulu di ketel hotel. Kalo mau pesan minuman kopi dan teh panas mendidih di restoran masih OK, lupakan jus buah, salad dan es deh. Cuaca cukup panas menyengat, kalo pengen banget minum yang segar dan manis pesan coca cola saja. Mission ini sangat padat jadwalnya dan 2 minggu ke depan harus terbang lagi ke Asia. Saya menghindari risiko diare dan bertahan agar tetap sehat dalam situasi pandemi ini. Uganda memiliki risiko tinggi malaria, 2 hari sebelum berangkat sudah minum pil anti malaria sampai seminggu setelah kembali ke Swiss. Saya juga minum vitamin untuk menjaga stamina karena perjalanan dengan mobil berjam-jam dan sering kurang tidur. Kemana-mana selalu bawa dan pakai mosquito repellent untuk kulit dan pakaian selain masker dan hand sanitizer. Makanan pokok disana matoke (pisang muda rebus) sebagai bahan utama karbohidrat. Nasi juga ada sih. Porsi makanan di restoran cukup besar dan sulit menghabiskannya. Orang-orang Uganda cukup ramah menurut saya. Tapi saya tidak menggemari kulinernya, entah karena selama disana selalu khawatir dengan standar kebersihannya atau memang rasanya yang tidak berkesan di lidah (ini kemungkinan terbesar). Berbeda dengan kuliner Ethiopia yang lebih saya sukai (ntar diceritakan di post selanjutnya). Mission ke Uganda cukup lancar dan aman kecuali ada sedikit drama di bandara dengan videographer yang kami bawa untuk mendokumentasikan hasil proyek. Drone yang dia bawa ditahan petugas imigrasi karena kebijakan pemerintah Uganda yang tidak mengizinkan drone asing masuk dan beroperasi disana. Akhirnya kami menyewa drone lokal dan membawa kembali drone milik videographer waktu terbang balik ke Eropa. Test covid kami semua negatif dan bisa pulang ke Eropa sesuai jadwal. Duh gak kebayang deh kalau harus tinggal di Kampala 1-2 minggu untuk karantina akibat covid. Jika kalian berminat mengetahui proyeknya dan hasil film yang kami buat di Uganda silahkan liat disini ya https://youtu.be/fT-n8gn2GTA