Pulang dari Uganda 2 minggu di Swiss langsung menyiapkan diri untuk mission ke India. Tujuannya sama dengan Uganda, monitoring proyek yang akan segera tutup di akhir tahun 2022. Seperti yang diceritakan di post sebelumnya, saya harus melakukan banyak vaksin dan salah satunya rabies sesuai saran dokter Swiss. Awalnya enggan karena banyak banget vaksin yang harus dilakukan, tapi dokter sangat merekomendasikan vaksin rabies. Setelah sampai di India, baru paham kenapa vaksin rabies itu sangat dianjurkan untuk perjalanan ke sana. Banyak monyet liar bebas berkeliaran bahkan sampai di pemukiman penduduk. Mereka bersarang di pohon-pohon besar dan jumlahnya cukup banyak. Seperti di monkey forest di Ubud atau Uluwatu. Risiko rabies cukup tinggi karena kontak dengan monyet-monyet itu bisa terjadi dengan mudah. Selama disana, saya menghindari pohon-pohon besar yang banyak monyetnya!

Ada sedikit drama di Dubai waktu transit dari Zurich ke New Delhi. Saya berangkat sendiri karena kolega sudah berangkat duluan. Saat berjalan menuju pesawat di garbarata tiba-tiba betis kiri terasa keram, beberapa detik kemudian betis kanan juga! Artinya saya terduduk disana dan tidak bisa berjalan sama sekali. Seorang laki-laki berbadan tegap dan berkulit gelap, ground crew Emirates, menghampiri dan menanyakan keadaan saya. Hening beberapa saat karena tidak bisa berkata-kata dan sedang menahan sakit. Setelah rasa sakit reda saya digendong ke pesawat. Pramugari Emirates dengan baik hati dan sigap memindahkan saya ke kursi yang lebih lega posisi kakinya. Kemungkinan besar dehidrasi dan dianjurkan minum air putih yang banyak jika tetap ingin melanjutkan perjalanan ke Delhi. Saya tidak bisa membatalkan mission ini dan tetap berangkat. Memang selama di Uganda kurang minum dan sampai di Swiss lanjut puasa ramadhan, wajar dehidrasi sampai kram betis kiri kanan. Sampai di Bandara Delhi pakai kursi roda dan diantar sampai ke taxi oleh crew bandara. Perjalanan ke Bhubaneswar (ibukota Odisha) di India Timur membutuhkan waktu sekitar 2 jam penerbangan. Kami meneruskan perjalanan ke Danau Tampara (lokasi proyek) sekitar 4 jam perjalanan dengan mobil dan menginap 2 malam di tepi pantai Teluk Bengala. Tantangannya cuaca yang sangat panas, sekitar 37 derjat Celcius selama disana karena sedang musim panas baik di Delhi maupun di Odisha. Satu hal yang paling mengesankan di India yaitu makanannya, enak dan enak banget! Terutama kari, baik yang vegetarian apalagi kari daging domba dan keripik dari lentil. Semakin ke pelosok semakin kurang bersih tapi semakin enak makanannya hahaha. Tetap hati-hati, tidak berani makan salad dan pesan jus buah saat makan di restoran lokal hanya berani pesan kari dan chapati yang baru dimasak dan masih panas. Saya sempat merasa terintimidasi naik taxi sendiri di Delhi, tapi kenyataannya aman dan baik-baik saja asal menggunakan jasa taxi yang jelas dan terpercaya. Delhi lebih kumuh dan polusi udaranya lebih parah dari Jakarta tapi macetnya kurang lebih sama.

Balik ke Swiss 2 minggu, saya kembali menyiapkan diri untuk berangkat ke Indonesia dan ke Ethiopia. Mission seminggu di Indonesia (Jakarta dan Sumatera Utara) dan seminggu selanjutnya liburan di rumah orang tua di Sumatera. Sudah 3 tahun kami tidak bisa berjumpa karena situasi pendemi. Kenyataannya selama seminggu cuti malah sibuk dengan persiapan mission ke Ethiopia. Kekhawatiran terbesar adalah masalah keamanan, negeri itu baru saja selesai perang saudara dan melaksanakan operasi militer. Walaupun kami sudah mengantongi izin dari department keamanan dan keselamatan dari kantor, dalam hati tetap jiper karena kami bakal travelling ke pelosok Ethiopia. Berangkat dari Jakarta menuju Addis Ababa via Dubai dengan Emirates jam 12 malam dari Bandara Soetta-Jakarta, transit di Dubai, sampai di Bandara Bole-Addis Ababa jam 2 siang waktu setempat. Kami menginap semalam di Addis dan besoknya berangkat ke Jijiga (Ibu kota Somali region) di Ethiopia Timur dengan pesawat kecil (propeller) Ethiopian Airline. Setelah puluhan kali berganti-ganti pesawat baik domestik maupun internasional, di negara maju, negara berkembang dan negara kurang berkembang (LDC alias Least Developed Country meminjam istilahnya PBB), saya yang biasanya cemas jika ada turbulensi sekarang cuek saja. I was just so tired and sick of flying!

Ethiopia menurut pandangan mata saya lebih maju dibanding Uganda dengan infrastruktur yang lebih baik paling tidak di Ibukotanya. Banyak organisasi international menempatkan kantor regional mereka untuk benua Afrika di Addis Ababa. Di Jijiga kami menginap 2 malam di salah satu hotel terbaik dan teraman tapi listrik padam berkali-kali sehari, tidak bisa charge HP sampai penuh. Saya kabari suami situasi ini agar tidak khawatir jika tidak bisa sering-sering kirim WA. Kami wajib melapor ke kolega di bagian keamanan dan keselamatan di Jijiga dan diingatkan bahwa yang paling berisiko ternyata penyakit demam tifoid dan diare, lagi-lagi harus extra hati-hati urusan air minum. Daerah ini sangat kering, selain itu akibat perubahan iklim sudah 3 tahun berturut-turut musim paceklik (karena tidak turun hujan, kalaupun ada sangat sedikit curahnya dan pendek waktunya). Masyarakat disini agro-pastoralist yang mengandalkan sektor pertanian dan peternakan, mereka sangat bergantung pada air hujan. Saat kami mengunjugi wilayah pedesaan sekitar 2 jam dari Jijiga, di tengah hamparan tanah kuning yang gersang dan tandus saya liat tulang-tulang hewan ternak berserakan yang mati kehausan dan tidak bisa diselamatkan. Kami berdiskusi dengan masyarakat setempat terutama kelompok perempuan, mereka harus berjalan sampai 8 jam untuk mendapatkan air bersih. Daerah ini benar-benar kering dan dalam ancaman kelaparan jika musim hujan terus menerus telat atau tidak datang sama sekali. Sejauh mata memandang yang terlihat hanya tanah kuning gersang dan tandus serta rumpun tanaman kaktus ada yang setinggi pohon kelapa. Rumah-rumah penduduk berada di antara rumpun dan pohon kaktus. Saya bayangkan betapa sulitnya untuk bisa mandi sepuasnya di ekosistem dan iklim seperti ini. In Jakarta and Bern, I can enjoy my long warm or cold shower anytime I want. I have learned that, here in the horn of Africa especially its remote parts, clean water is a luxury. Once again, it reminds me to count my blessings more often.

Menurut saya orang Ethiopia tidak seramah orang Uganda tapi makanannya cukup lezat. Apakah karena mereka pernah dijajah Itali walaupun sebentar tidak seperti Uganda yang merupakan bekas koloni Inggris? Hahaha tidak tau juga. Makanan di Ethiopia lebih berempah dan kaya rasa hanya saja kebanyakan berbasis daging. Tidak mengherankan karena mereka masyarakat agro-pastoralist terutama di Somali region. Saat travelling baik di saat mission atau liburan diet saya cendrung flextarian alias makan apa saja dan tidak terlalu pilih-pilih. Di Somali region, kuliner uniknya daging unta selain daging kambing yang tersedia dimana-mana. Rasanya lumayan enak, biasanya dalam bentuk kari dan dimakan dengan injera (pancake yang sedikit asam) atau nasi. Kopi Ethiopia juga enak, saya bawa 1 kg bubuk kopi waktu balik ke Swiss dan menurut suami yang pencinta kopi rasanya lebih enak dari kopi Uganda. Ethiopia juga punya tradisi minum kopi yang unik, kopi disajikan dengan dupa yang dibakar menurut legendanya untuk membersihkan ruangan dari arwah yang jahat.
Ethiopia adalah negara tujuan terakhir mission kami, rasanya lega sekali setelah kembali ke Addis dari Jijiga. Namun mission terakhir ini berujung dengan banyak drama. Sampai di hotel di Addis tiba-tiba saya merasa perut tidak nyaman dan berisik sekali padahal tidak lapar. Sorenya berangkat ke bandara, penerbangan ke Swiss dengan Luftansa dan ada perubahan mendadak, dari Frankfurt harus berganti pesawat ke Zurich dan lanjut ke Jenewa. Padahal itinerary awal Addis-Frankfurt-Jenewa. Inilah risiko terbang saat masih pandemi, jadwal pesawat berubah mendadak bahkan ada yang di cancel! Itu terjadi saat kami mission di Indonesia, Jakarta-Medan yang mustinya naik Air Asia di cancel dan kami harus terbang dengan Citilink, untung masih ada seat dan bisa dibeli tiketnya. Di Bandara Bole, dengan perut yang sakit dan sendirian, sementara kolega sudah duluan berangkat karena destinasi penerbangannya berbeda, saya harus bolak-balik ke beberapa counter Luftansa dan bersitegang dengan ground crew nya memastikan mereka memberikan 3 boarding pass: Frankfurt-Zurich-Jenewa dan bagasi juga harus sampai Jenewa. Saya ngotot dan tidak mau check in lagi di Frankfurt atau Zurich karena tiket yang dibeli kantor rutenya Addis-Frankfurt-Jenewa. Untung berangkat lebih awal ke bandara, jadi kalau ada masalah begini masih ada waktu. Selama mission dan masa pandemi, untuk international flight saya selalu sampai di bandara 3 jam sebelum boarding mengantisipasi panjangnya antrian karena counter dan petugas lebih sedikit. Saya tidak perlu bukti test negative covid untuk pulang ke Swiss dari Bandara Bole karena sudah 3x vaksin covid-19, menurut pemerintah Swiss dan Jerman itu sudah cukup. Ini sangat berbeda waktu kembali dari Uganda dan India ke Swiss, juga berangkat dari Indonesia ke Ethiopia, hasil test negative covid-19 itu merupakan persyaratan untuk bisa berangkat.
Selama penerbangan badan semakin tidak karuan, sangat lelah dan akhirnya tertidur pulas dari Addis sampai Frankfurt. Di Frankfurt transit 2 jam sebelum terbang ke Zurich dengan Swiss Air. Mendarat di Zurich dengan perut yang masih sakit saya harus berlari-lari mengejar pesawat ke Jenewa karena pesawat dari Frankfurt delay. Begitu masuk dan duduk, pesawat langsung taxi dan take off. Dari Jenewa naik kereta api lagi ke Bern 2 jam-an. Sampai di rumah benar-benar terkapar dan besoknya mulai merasakan radang tenggorokan terparah yang pernah saya alami dengan sedikit meriang. Setelah periksa ke dokter, positif covid-19. Saya bersyukur bisa pulang ke Swiss tanpa harus menjalani karantina di Addis, gak kebayang deh sendirian disana dan sedang sakit pula. Seminggu berikutnya bedrest, baru benar-benar pulih setelah 2 minggu dan saya harus berangkat lagi ke Brussels. Mission ke Brussels sukses dan kembali tenggelam dalam rutinitas kerja yang padat menjelang musim panas. Suatu hari saya ambruk di kantor, mungkin karena masih kelelahan akibat back to back mission dan belum pulih sepenuhnya dari Covid. Butuh 1 bulan untuk benar-benar sembuh, covid-19 is suck and we will never forget how much loss and damage it caused. Tapi saya bersyukur bahwa semua mission berjalan sesuai rencana, bisa pulang dengan selamat dan mendapat pelajaran berharga. Harus lebih banyak bersyukur dan lebih sedikit mengeluh. Saya bertekad menjalani tahun 2023 ini dengan lebih riang gembira dan berulang-ulang mengingatkan diri sendiri bahwa saya sangat beruntung. Bagaimana dengan kalian?